Wednesday 11 July 2018

Isi Surat Cinta Menyayat Hati Zainuddin Kepada Hayati

Sahabatku Hayati
Gemetar, Encik! Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku,  banyak yang terasa, tetapi setelah kucecahkan penaku ke dawat, hilang akalku, tak tentu dari mana harus kumulai.

            Sudah hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. Oh, Hayati, saya telah dibuaikan oleh mimpi dahulunya, oleh kuatnya bekas dendang dan nyanyian ayahku seketika saya masih dalam pangkuannya. Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau, senantiasa berdiri dalam semangatku. Sehingga sejak saya tahu menyebut nama negeri Padang, tanah ini telah terbayang dalam khayalku.

Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari. Sebab di negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau Mengkasar. Sebab itu disana saya rasa senantiasa dalam kesepian.

Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak ubahnya dengan seorang musafir di tengah gurun yang luas keputusan air ; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas !

Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirkan, emas juga tidak juga dapat dicampurkan dengan Loyang, sutra tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya seakan-akan tak paham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga kuketahui, bahwa derajatku kurang adanya. Bakoku sendiri tidak mengaku saya anak pisangnya, sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh uang; sekali lagi Hayati, oleh uang!

Mengapa hal ini saya adukan kepadamu Hayati?

Itu pun saya sendiri tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu…
Hayati! Terimalah pengaduaku ini, terimalah berita dan untung malangku ini.

Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang makhluk yang dari masa dalam kandungan ibu telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari kemalangan.

Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula. Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang. Saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan iman dengan yang Mahakuasa dan Gaib, bahwa dibalik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di dalam khayalku dan dalam kegelapgulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang, bintang dari penghidupan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu … ialah: kau sendiri, Hayati!

Bagimana maka hati saya berkata begitu? Itupun saya tak tahu. Lantaran tak tahu sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa gaib yang lebih dari kuasa manusia, kusa gaib itulah yang menitahkan …

Saya tahu juga sedikit-dikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum. Menggaggu dirimu sendiri, tak akan menyentuh keesaran dan sususnan rasam basi orang Minangkabau. Saya tahu dan insaf siapa semata-mata mengadukan hal. Nyampangku mati, janganlah kumati dalam penyesalan. Dan saya pun yakin, tangan yang begitu halus, mata yang penuh dengan kejujuran itu, tidak akan sampai mengecewakan hati ynag telah penuh dengan kecewa sejak sejengkal dari tanah. Terimalah saya menjadi sahabatmu yang baik, Hayati.

Supaya dapat saya mengadukan hal-halku, untuk mengurangi tanggungan hati. Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan menjadi kurang, bila dikatakan pada orang lain.

Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui saya orang aging melarat dan anak orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini, yang bersih lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnyake dunia!

Zainuddin

Penikmat sejarah sastra klasik dan modern. Biarkan kami hanyut dalam kalimat hikmat kehidupan.!

Comments


EmoticonEmoticon